Minggu, 28 Mei 2017

Auguste Comte
Ia lahir tahun 1798 di kota Monpellier Prancis Selatan, berasal dari kelas menengah, anak dari orang tua yang menjadi pegawai kerajaan dan penganut agama Katolik yang saleh. Ia menikahi Caroline Massin, seorang bekas pelacur, yang nampaknya kemudian disesali, karena ia pernah menyatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar dalam hidupnya. Selama dua tahun, dari 1914 hingga 1916 Comte belajar di Sekolah Politeknik di Paris.
Tahun 1817 diangkat menjadi sekretaris Saint Simon, seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk kembali ke abad tengah, melainkan justru harus direspon dengan membangun basis intelektual baru, yakni berfikir empirik dalam mengkaji persoalan realitas sosial. Pemisahan diri dengan Saint  Simon terjadi manakala Comte kemudian menerbitkan buku “Sistem Politik Positif” tahun 1824. Pada tahun 1830 seri “Filsafat Positif” yang ia susun diterbitkan, dan kemudian menyusul seri-seri berikutnya sampai dengan tahun 1842. Comte itulah yang kemudian dianggap pertama kali memakai istilah Sosiologi- meski bahwa yang sesungguhnnya lebih tepat menjadi sumber awal sosiologi adalah tokoh semacam Adam Smith atau pada umumnya kaum Moralis Scottish. 19
Sejak kecil Comte telah menunjukkan diri sebagai seorang yang berpikiran bebas, mempunyai kemampuan berpikir, penganut republik yang militan, skeptis terhadap ajaran-ajaran Katolik , dan kritis terhadap mahagurunya. Pemikiran-pemikiran Comte banyak dipengaruhi pemikiran gurunya Saint Simon. Kemudian dipengaruhi oleh Revolusi Prancis. Pemikiran Comte muncul dilatar belakangi oleh Revolusi Perancis. Ia menilai bahwa revolusi terjadi akibat pencerahan yang terjadi pada saat itu, yang menimbulkan anarkisme.
  • Bagaimana Pemikiran Auguste Comte terhadap Pendidikan
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan mannusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang kenyataan lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Hukum Evolusi Tiga Tahap
Dalam memahami krisis, Comte berpendapat harus melalui pedoman-pedoman berpikir ilmiah. Ia juga banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Encyclopedist Perancis, aliran reaksioner, dan sosialistik. Ia kemudian dikenal sebagai pencetus perspektif pengetahuan positivisme atau filsafat positifistik, sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir yang melandasi para filosof pencerahan. Comte berada dalam posisi yang sejalan dengan gerakan antirevolusi kaum Katolik- terutama dari de Bonald dan de Maistre.
Dua hal yang dapat dicatat dalam hal ini adalah: pertama, ia tidak mempunyai bayangan untuk berfikir kembali ke abad pertengahan, karena perkembangan industri dan pengetahuan jelas tidak memungkinkan hal itu; kedua, ia menngembangkan sistem teoritikal yang menarik ketimbang para pendahulunya sehingga lebih memadai sebagai dasar pijakan pemikiran awal sosiologi. Sebagai wujud perlawanannya terhadap filsafat negatif yang mendasari pencerahan dan revolusi Perancis, Comte secara tegas menolak perubahan revolusioner. Dia menganjurkan perubahan evolusi. Revormasi memang dibutuhkan sejauh membantu proses evolusi itu sendiri.
Teori evolusi inilah kemudian yang mendorong lahirnya hukum tiga tahap perkembangan (the law of the three stages), dan ia percaya bahwa semua ilmu pengetahuan melampaui ketiga tahap tersebut sesuai dengan tingkat kompleksitas mereka masing-masinng. Ia percaya bahwa ilmu positivis yanng berjaya di dalam dunia matematik, astronomi, fisika, dan biologi haruslah dapat diberlakukan dalam dunia politik yang pada muaranya kemudian masuk kepada pengetahuan sosial positif, yang ia sebut dengan sosiologi.
Ketiga tahap pengetahuan yanng dimaksud Comte itu tiada lain adalah :
  • Tahap Teologis
Dalam tahap ini masyarakat percaya akan kekuatan supernatural, dan agama diatas segala-galanya. Manusia menempatkan diri sebagai peserta, yang dalam istilah Bruhl disebut dengan mental partisipasi, dimana manusia dalam hidupnya tidak bisa lebih selain ikutserta dalam proses-proses kosmos yang dikendalikan oleh gagasan-gagasan keagamaan. Dunia fisik maupun sosial dipandang sebagai produk Tuhan. Bentuk-bentuk pemikiran tahap awal perkembangan atau evolusi manusia ini antara lain adalah fetishisme dan animisme yang menganggap alam semesta ini berjiwa. Benda-benda dianggap sebagai sosok partikular, unik, individual dan bukan sesuatu yang abstrak dan umum. Dunia dihayati sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus, sebagai cermin penghayatan keilahian manusia purba.
Masih dalam tahap teologis, namun sedikit lebih maju adalah faham politeisme, yang mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian alam dengan berdasar pada kesamaan-kesamaannya. Politeisme dengan demikian menggambarkan upaya manusia untuk berfikir lebih teratur, tertib dan juga lebih sederhana dalam memandang alam semesta yang beraneka ragam. Evolusi kearah fikiran yang lebih tertib itu kemudian sampai juga kepada pandangan monotheisme, yang mampu berfikir lebih sistematik. Kekuatan yang pusparagam itu disederhanakan menjadi satu Tuhan yang berdaulat penuh dan berkuasa mutlak atas langit dan bumi.
  1. Tahap Metafisika
Dalam tahap ini masyarakat berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan personikasi Tuhan adalah sumber kekuatan fisik maupun sosial. Dengan kata lain, dalam mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal-budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis. Prinsip-prinsip penjelasan tentang realitas, fenomena dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Namun, oleh karena penjelasan yang dilakukan belum bersifat empirik, maka cara menjelaskan berbagai realm, kemudian itu tidak berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya. Sehingga, menurut Comte, cara berfikir metafisik ini sebenarnya adalah pengertian nama saja dari cara berfikir teologis. Baginya, cara berfikir manusia harus keluar dari tradisi teologis maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sarana mencari kebenaran.
  1. Tahap Positif
Pada akhirnya perkembangan masyarakat memasuki tahap positivistic, tahap masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah, dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode empirik. Manusia tumbuh menjadi kekuatan yang mampu menggunakan akal budinya untuk menemukan pengetahuan baru. Dalam tahap inilah pemikiran positivistik, empirik dan naturalistik menggantikan otoritas pengetahuan teologis, serta pengetahuan metafisis. Orde empirik, yang disadarkan kepada pencerahan akal budi, seperti yang dimimpikan oleh Rene Descartes (1596-1950) muncul ke permukaan sehingga menandai dimulainya suatu perubahan cara hidup manusia yang baru. Cara berfikir spekulatif, normologik, harus menyerahkan otoritas hegemoniknya kepada dominasi berfikir empirik, cara berfikir yang menganut pengetahuan naturalistik.

Sumber : https://ridahelfridapasaribu.wordpress.com/2015/06/15/pokok-pemikiran-yang-dituangkan-auguste-comte-dalam-kajian-sosiologi-pendidikan/

Jumat, 19 Mei 2017

KEHENDAK BERKUASA



Manusia dan Kehendak untuk Berkuasa



http://www.greatkat.com

Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche.[1] Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses transendensi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) (3).[2] Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such) (3).   
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.”[3]Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri.[4] Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.[5] Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.”[6] Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa. Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.
Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi.[7] Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia.[8] Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation).[9] Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya.[10] Dua sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan.[11] Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang disarankan oleh Nietzsche.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan.[12]Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
Sumber :
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/